Tuanku Tambusai
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tuanku Tambusai
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Nama
lain
|
De Padrische Tijger van Rokan atau Harimau Paderi dari Rokan
|
Tuanku Tambusai (lahir di Tambusai, Rokan
Hulu, Riau, 5
November 1784 – meninggal
di Negeri
Sembilan, Malaya Briania, 12
November 1882 pada umur 98
tahun) adalah salah seorang tokoh Paderi terkemuka.
Daftar isi
Latar belakang
Tuanku
Tambusai lahir di Dalu-dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Dalu-dalu
merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan.
Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji,
dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh.[1]
Tuanku
Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang,
Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan
merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi
imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari
Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang
matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.[2]
Sewaktu
kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk
ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara.[3]
Gerakan Paderi
Untuk
memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol
dan Rao di Sumatera Barat.
Disana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga
dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga
ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat
diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut.
Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya
untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah Batak
yang masih banyak menganut pelbegu.[4]
Melawan Belanda
Perjuangannya
dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu.
Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan
Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk
melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.[5]
Dalam
kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda,
sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia.
Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol
yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak
bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga
sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung
Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda ia digelari “De
Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit
dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda.
Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk
berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan
Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan
sekutu-sekutunya. Ia mengungsi dan wafat di Seremban,
Negeri Sembilan, Malaysia pada tanggal 12 November 1882.
Karena
jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia-Belanda,
pada tahun 1995 pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.[6]
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Tambusai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar